Tuding-menuding antara sesama pemeluk agama dalam mentahdid (mendefinisikan) dan mentashaurkan (mendeskripsikan) arti “damai, sejahtera” kerap berdampak pada permusuhan abadi yang lahir dari suatu keta’ashuban (fanatic) yang berlebihan terhadap pandangan tekstual masing-masing. Jika dicermati tujuan dan inti ajaran semua agama maka akan ditemukan suatu titik kesamaan tujuan dan ajaran yaitu mentauhidkan “Ilah” dan mensucikan serta menyelamatkan diri atau perbuatan dari hal-hal yang dapat memusyrikkan-Nya dengan suatu apapun.
Kalangan Islam dan Kristiani berdebat tentang asal muasal kata”Damai, sejahtera” yang mana jika dikembalikan pada sejarah pembentukkan (rumpun) bahasa, maka jelas diantara bahasa Arab dan Ibrani berada pada suatu rumpun Saamiyah yang mempunyai beberapa persamaan kata. Misalnya, kata “Tuhan” dalam Ibrani adalah “El”, dalam bahasa Arab “Ilah”. Kata “Ismael atau Samuel” dalam bahasa Arab “Yasma’allah”. Kata “Bethlehem” sama dengan “Bayt Lahm” dalam bahasa Arab. Dst. Begitu pula dengan kata “Islam dan Shalom”.
Kata “Islam” berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah “Salama atau Salima” yang berarti : “Berserah diri, Menerima, Damai, Selamat dan Sejahtera”. Diantara semua makna yang terkandung padanya memiliki korelasi antara satu dengan yang lainnya, berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan dan menerima segala yang diperintahkan maupun yang dilarang maka seorang hamba akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan damai karena ia tidak rakus akan dunia maupun pandangan-pandangan piciknya sehingga ia tergolong orang yang selamat dan akan meraih kesejahteraan di dunia maupun di akherat.
Kata “Shalom” didefinisikan secara bahasa oleh Lexicon Ibrani berarti “Damai, Selamat, Sejahtera”. Antara kedua bahasa ini memiliki kesinoniman makna. Namun keta’ashuban yang berlebihan dalam memahami siapakah yang ada terlebih dahulu dan siapakah yang paling benar, yang mana kesimpulan akhirnya adalah memvonis sebagai suatu kesalahan dan permusuhan.
Ajaran-ajaran diantara kedua agama samawi ini jelas memiliki kesamaan tujuan dan tata cara peribadatan untuk merealisasikan tujuan. Yang salah bukan pada ajaran agama melainkan cara dalam beragama yang merupakan kekeliruan penafsiran terhadapa ajaran agama tersebut. Jika ajaran-ajaran agama dilaksanakan dengan baik maka kedamaian dan kesejahteraan baik di dunia maupun di kehiupan ukhrawi kelak akan membuahkan kesejahteraan dan keselamatan.