Memudarnya tradisi menghitung hari pasaran bagi kaum Jawa

DEWASA ini, tradisi menghitung hari dan pasaran atau petung pada masyarakat Jawa terus menghilang. Apalagi ada anggapan cara seperti itu kuno dan tak layak lagi buat orang modern. Buntutnya, ketika seorang generasi muda Jawa ditanya hari kelahirannya, dia akan menjawab tanggal, bulan, dan tahun berdasarkan almanak Masehi.

Nama zodiak Masehi seperti Aquarius, Aries, Pisces, Cancer, Leo, atau Sagitarius lebih mereka kenal. Media massa nasional yang memiliki rubrik perbintangan juga lebih banyak memberikan perhitungan berdasar zodiak Masehi.

Perhitungan lain seperti shio (perhitungan Cina) pun lebih banyak dikenal, tapi ketika ditanya hari dan pasaran kelahirannya, banyak yang hanya tersenyum dan tidak bisa menjawab.

Nama-nama pasaran seperti Kliwon, Legi, Pon, Pahing, dan Wage yang menyertai nama hari sering tidak begitu mereka indahkan. Bahkan sering mereka berkomentar, ''Ah, itu kuno.''

Meski demikian, tak bisa dimungkiri, di dalam kenyataan, orang masih membutuhkan perhitungan Jawa.

Perhitungan yang dimulai pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusuma 8 Juli 1633 M atau 1043 H itu memang memiliki arti khusus bagi orang Jawa.

Dengan sistem kalender yang mengacu pada lunar system calendar atau perhitungan bulan, sistem ini berbeda dari Masehi yang mengacu pada putaran matahari (solar system calendar).

Ahli Petung

Fenomena yang mengemuka sekarang adalah diburunya ahli petung untuk memberikan jasa perhitungan. Khususnya perhitungan seputar hari baik dan hari buruk untuk melakukan hajat besar, seperti perkawinan, khitanan, dan membangun rumah. Maka, perhitungan cara Jawa itu boleh disebut tak pernah mati.

Di Semarang nama Ki Hudoyo Doyodipuro atau Ki Sayoko dan di Solo KRT Darmodipuro banyak didatangi orang untuk dimintai perhitungan model Jawa. Media massa yang langsung berhubungan dengan publik pembaca juga dipenuhi rubrikasi sekitar perhitungan Jawa.

Orang jadi akrab istilah-istilah yang lazim dalam dunia petung Jawa. Satriya Wirang, Tunggak Semi, Lebu Katiyup Angin, Wasesa Segara, Bumi Kapetak, Satriya Wibawa seperti nama-nama yang tak asing lagi. Begitu juga istilah Aras Kembang, Lakuning Bayu, ataupun Lakuning Lintang.

Di masyarakat, berbagai alasan menyertai pencarian tahu tentang hari baik dan hari buruk untuk melakukan sesuatu pada orang yang dianggap ''mumpuni'' dalam ngelmu petung. Ada yang mengaku menjadi lebih mantap, tapi tak sedikit pula yang hanya ikut-ikutan orang lain atau orang tua mereka.

Tuti (36), misalnya, dijumpai seusai mencari tahu hari baik untuk pindah rumah kepada KRHT Darmodipuro di Museum Radyapustaka Solo, baru-baru ini, mengaku tidak begitu memercayai perhitungan Jawa.

'Tapi, banyak orang menyarankan saya untuk melakukan perhitungan. Biar lebih mantap,' kata wanita asal Pajang, Laweyan, Solo itu.

Lain lagi Purwoko (41), ayah tiga putra asal Kepunton, Jebres Solo. Dia mengaku sangat memercayai perhitungan Jawa. ''Setiap kali mau melakukan sesuatu, pasti saya mencari tahu pada orang 'pinter','' katanya sembari tertawa.

Memang, perhitungan Jawa, betapa pun masyarakat terus berkembang maju, tetaplah penting. 'Perhitungan itu kan hasil budaya leluhur. Fungsinya agar orang yang telah tahu jadi berhati-hati,' kata KRHT Darmodipuro atau biasa dikenal dengan sebutan Mbah Hadi.

Dia juga bercerita tentang dua mantan Presiden RI yang berdasarkan hari kelahirannya dalam perhitungan disebut Satriya Wirang.

'Pada akhir masa pemerintahan mereka, keduanya mendapat wirang. Maka, setelah tahu perhitungan kita jadi waspada.'


Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl