Masyarakat Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Timur mengenal konsep wali dalam wujud Walisongo. Konsep Walisongo hingga kini masih memiliki pengaruh besar di kalangan santri tradisional sebagai bentuk kepercayaan kepada orang-orang yang disucikan dan dijadikan sebagai panutan atau wasilah (tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan ). Konsep Walisongo yang dipegang kalangan santri tradisional ini pada hakikatnya merupakan wujud kompromis dan “permisif “ atas tradisi-tradisi lokal Jawa.
Konsep ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan Sejarah asal masuknya Agama Islam ke Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Dahulu kala, sebagai agama baru di Nusantara, Islam datang dalam bentuk yang tidak semurni yang diajarkan Rasulullah Muhammad Saw. Untuk dapat sampai ke Indonesia, Islam memerlukan perantaraan tangan-tangan budaya dan filsafat Timur (bukan Timur Tengah). Budaya Persia dan Hindu merupakan racikan kebudayaan dan filsafat yang masih meninggalkan residu dalam pola kehidupan umat Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dalam konsep-konsep keberagamaan para penganut dan penganjur tasawuf, tarekat, dan pengikut fiqih mazhab Syafi’i.
Ulama sufi yang tergolong awal datang ke Nusantara adalah Maulana Burhanuddln dari India, ia adalah seorang penganut Tarekat Qadiriyyah dan mazhab Syafi’i yang berpengaruh di Sumatera dan Malaka. Kemudian disusul oleh Maulana Malik Ibrahim, yang mempunyai pengaruh besar di Jawa. Berdasarkan pengaruh kedua tokoh ini, dapat dilihat bahwa proses Islamisasi di Indonesia pada awalnya hanya dipengaruhi dua hal pokok, yakni tasawuf atau tarekat dan Mazhab fiqih. Dampak yang dibawa tasawuf sampai sekarang tetap menjadi bagian dari kultur kaum santri sebagai kelompok “permisif” dan kompromis terhadap tradisi dan budaya lokal Jawa. Tradisi dan budaya lokal masyarakat Jawa yang Hinduistis-Budhistis diperlakukan sebagai saudara tua yang, betapapun ‘anehnya’, tetap dihormati sebagai mitra yang telah banyak memberikan andil dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Islam memperlakukan tradisi dan budaya lokal Jawa dengan hormat dan meluruskan berbagai kekeliruannya dengan cara yang arif dan bijaksana. Dongeng, mitos, dan mistik dari unsur Budha, Hindu, Animisme, dan Dinamisme dibentuk menjadi kisah-kisah Islami versi kaum tarekat dan sufi, dalam hal ini: Walisongo. Dengan demikian, sebagai penganut agama baru, masyarakat Muslim Jawa terbentuk menjadi masyarakat yang lekat dengan nilai-nilai ruhaniah sufistik dan non-rasional. Pola hidup masyarakat Jawa yang secara struktural diciptakan, manut terhadap sabda pandita, para penguasa, dan penyelenggara pemerinhan, nrimo, dan mudah menyerah kepada keadaan -semakin mendarah-daging. Doktrin-doktrin sufistik yang mengarah kepada pola fatalistik (jabariy), yang di meyakini bahwa Tuhan memegang kekuasaan dan kehendak mutlak atas manusia, mempunyai peranan yang cukup dominan dalam pembentukan pola budaya demikian.
Doktrin-doktrin jabariy ini ternyata memperoleh sambutan dari raja-raja Jawa, sebagai pihak penguasa yapg berkehendak keras mempertahankan status quo, termasuk penjajah Belanda di kemudian hari. Penghormatan dan kultus kepada para raja sebagai wakil Tuhan di muka bumi sebagaimana doktrin raja-raja Hindu, tampak semakin memperlicin Islam menembus dinding-dinding istana sebagai salah satu jalur suprastruktur yang mesti diislamkan. Perkawinan dengan puteri-puteri raja adalah salah satu strategi para pendakwah yang sangat efektif. Melalui perkawinan-perkawinan macam itu, lahir kerajaan-kerajaan Islam yang besar seperti kerajaan Islam Demak.
Media wayang yang dijadikan sarana dakwah Islam Walisongo sebenarnya tidak semata-mata mengefektif-efisienkan penyebaran Islam. Di pihak lain, seni wayang makin memperjelas justifikasi dan dukungan kepada posisi raja dan memperkuat penghormatan atas- nya dalam status quo. Dalam cerita wayang ini, seorang punakawan -betapapun cerdik, pandai, dan keturunan dewa -akan tetap menempatkan para raja dan keturunannya sebagai manusia paling mulia dan harus selalu diagungkan, dihormati, dan dipatuhi segala sabdanya. Secara politis, seni pewayangan di Jawa ingin memproklamasikan “raja” simbol penguasa -sebagai manusia nomor wahid. Sekalipun seorang raja yang sah itu zalim dan tiran, ia tetap diperlakukan sebagai wali ad-dahr. “Mendukung raja zalim lebih baik ketimbang berbuat makar.” Demikianlah imbas politik pemerintahan para wali di Jawa, yang sampai sekarang masih melekat di hati kaum santri yang memahami persoalan kepemimpinan (imamah) Sunni Umpamanya saja, pola-pola monarki sebagai salah satu budaya bangsa Persia sudah akrab dengan tradisi masyarakat Muslim Jawa. Pendekatan budaya semacam ini memiliki kelebihan tersendiri dalam pro- ses Islamisasi di Indonesia. Proses pembentukan tatanan masyarakat Islami dilakukan sebagai proses diferensiasi dan integrasi yang berlangsung terus-menerus. Proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai itu akhimya mampu menciptakan individu-individu dan masyarakat yang bersendikan Islam sebagai pelaku perubahan sosial itu sendiri Perubahan yang dilakukan dapat menciptakan pembebasan dari budaya kebergantungan. Yang disebut terakhir ini belum dirasakan hasilnya oleh sebagian besar umat Islam.
Mengenai keuntungan-keuntungan ruhaniah berupa ajaran-ajaran agama dan moral ini, generasi muda masyarakat santri mempunyai tiga pilihan. pertama, membina dan memelihara nilai-nilai yang ada dengan caranya masing-masing (konservatif); kedua, melakukan perubahan-perubahan seperlunya (reformatif); ketiga, merombak nilai-nilai itu (transtormatif) Barangkali, prinsip modernisasi kaum santri dengan diktum “memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik” (al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah) lebih tepat dikategorikan sebagai generasi para wali yang aktif mempertahankan atau memelihara keruhanian miliknya demi kelestarian generasi-generasi sesudahnya, dan membina serta menggantikannya dengan bentuk dan model baru. Akan tetapi, lazimnya, bila ada ketidakserasian antara pola lama dengan pola baru yang lebih modern, mereka hanya melakukan perubahan bentuk atau modelnya saja. Ini bisa dimaklumi karena, sebagai generasi baru, kaum santri sejak lahir hanya diberi warisan klasik berupa norma-norma keagamaan, budaya, tradisi, kesenian, dan pemikiran-pemikiran keilmuan lain yang ditransmisikan secara turun temurun Generasi-generasi sebelumnya telah membawa kaum santri kepada kondisi di mana mereka harus belajar mengenal dan mengamalkan secara patuh tanpa kritisisme rasional kaidah-kaidah keagamaan, kesusilaan, kebiasaan, dan aturan-aturan hukum Hal ini ditambah lagi dengan pengaruh dari orang tua, para guru atau kiai, dan lingkungan kesantrian yang mengkondisikan nama dan status santri secara eksklusif. Dengan kata lain, sejak itu, ia telah memiliki nama, status, dan budaya yang sangat eksklusif dari mainstream. Akibatnya, betapapun seorang generasi santri mempunyai kecendekiaan yang tinggi, ia akan tetap tunduk-patuh pada status quo, di mana nilai-nilai keulamaan kiai-ulama pesantren tidak dapat dihadapi dengan kebanggaan intelektual. Sebab, nilai nilai keulamaan kiai-ulama pesantren tidak lain merupakan penetrasi tradisi kewalian Walisongo yang tradisional. Sebagai karakteristik kaum tradisional, budaya tawddhu’ dan mohon restu dari sang guru sulit dilepaskan dari identitas budaya santri. Secara sosio-kultural psikologis, kaum santri lebih memilih berada di pinggiran ketimbang masuk menerobos “dinding” birokrasi pemerintah dan berkecimpung secara intens dalam persoalan-persoalan bangsa dan negaranya. Fenomena ini diakui sampai sekarang masih ada,walaupun tidak sepenuhnya. Akibatnya, santri secara komunal belum dapat menjadi manpower, penentu perubahan dan perkembangan sosial yang, tentu saja, harus mengemudikan roda transformasi nilai-nilai modern.
Secara individual dan mandiri, tidak bisa dibantah bahwa telah muncul “generasi baru “ kaum santri yang kritis, progresif, dan transformatoris. Mereka bukan saja menyadari ketertinggalannya, melainkan juga telah melakukan lompatan budaya dan intelektual yang sangat maju. Hal ini tidak saja direfleksikan lewat formulasi pikiran-pikiran yang menantang status quo dan menawarkan perubahan-perubahan yang strategis, tetapi juga dibuktikan melalui keterlibatannya secara partisipatif-kritis dalam menangani persoalan umat dan bangsanya. Mereka ini biasanya mengelompok dalam komunitas dan lembaga yang tidak formal, tidak struktural, dan tidak terikat oIeh lembaga manapun, dan bahkan tidak sedikit yang “tidak menampakkan” identitas dasarnya.
Kemunculan “generasi baru” ini jelas membuka horisan baru bagi performa santri dan sekaligus meruntuhkan mitos santri yang dikesankan konservatif, ortodoks, “tradisional,” dan berbagai strerotipe lain yang sering dilekatkan pada jati diri santri. Namun, apakah ini berarti bahwa akan tetap terjamin kontinuitas jatidiri kesantrian mereka yang ikhlas, tawadhu “ zuhud, dan wara. Tetapi, yang penting diperhatikan adalah bahwa kiai-ulama atau santri- apa pun perannya dalam “permainan” ini tidak bisa terpisah dari pesantren. Pesantren adalah benteng “kita.”
Di sisi lain, sebagai bagian dari .komunitas bangsa Indonesia, kaum santri bisa dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang pertama kali menerima Islam melalui ajaran tasawuf dengan dengan gerakan tarekatnya. Sebagai gerakan popular, tarekat di masa itu tengah berada di puncak ketinggiannya dan telah mendominasi corak pemikiran dunia Islam. Pemikiran-pemikiran suft besar, seperti al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, sangat mempengaruhi para pengarang Muslim indonesia generasi pertama. Kemunculan tarekat bisa diterima karena menyerap unsur-unsur lokal dan tradisi setempat yang lebih tua, baik dalam wujud adaptasi lokal maupun wujud penyatuan dalam kultus-kultus setempat yang menjadi bagian dari corak sinkretisme. Kaum santri yang berkiblat pada budaya Walisongopun menerima doktrin tarekat yang, kalau di cermati tidak seluruhnya senafas dengan Al-quran dan Sunnah Nabi. Melihat kenyataan berupa lahirnya tarekat yang didahului oleh mistisisme Hindu-Budha dan karakternya yang “permisif” kaum Santri dicap oleh sebagian sejarahwan dan kelompok modernis sebagai kaum tradisional yang menganut ajaran-ajaran yang konon berbau bid’ah dan khurafat.
Sebagai penganut doktrin tarekat, kaum santri cenderung memperhatikan kehidupan ruhani (spiritual) ketimbang kehidupan nyata yang rasional dan natural. Perhatian yang berlebihan pada dunia suprarasional dan alam gaib inilah yang dianggap mernberikan sokongan besar pada kemandegan intelektual, lebih-lebih doktrin tasawuf yang menempatkan intuisi di atas ketajaman rasio dalam pencarian hakikat ‘kebenaran. Pengaruh tasawuf yang masih mengakar sampai sekarang adalah tasawuf al-Ghazali. Ajaran-ajarannya dianggap telah berhasil memadukan syariat dengan hakikat (ma’rifah). Di kalangan kaum santri, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, karya monumental al-Ghazali, dianggap sebagai karya besar yang mampu memuaskan kehausan ruhani. Al-Ghazali dijadikan sebagai bapak ruhani, pendidik, filosof, faqih bermazhab Syafi’i, teolog beraliran Asy’ari. dan Hujjah al-Islam.
Tuduhan-tuduhan sinis terhadap kaum santri pun datang tanpa henti-hentinya dengan nada menghina, setidaknya memojokkan mereka dalam posisi dan proporsi rendah. Kaum santri dianggap sebagai peminat tarekat yang mengajarkan latihan-latihan spiritual untuk tujuan-tujuan tertentu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang tidak bisa dipecahkan secara rasional. Mereka dianggap menjadikan tarekat sebagai pelarian dan kompensasi dari ketidakberdayaan fisik, intelektual, dan politik dalam menghadapi kenyataan dan perubahan sosial yang berlangsung. Berbagai tuduhan yang dilontarkan ini sangat memprihatinkan hanya lantaran perilaku empiris yang menyimpang dari ajaran tasawuf yang sebenarnya.
Secara de facto, kaum santri telah melupakan kronologi dan tahapan-tahapan pemikiran keislaman ketika berhadapan dengan karya-karya tasawuf. Tasawuf dipelajari sebagai sebuah nilai final yang harus ditempuh melalui lompatan-lompatan keilmuan. Betapa tidak, ketika mempelajari karya al-Ghazali seperti Ihya’ ‘Ulum ad-Din, mereka tidak memahami terlebih dulu tentang siapa al-Ghazali sebelum dan sewaktu menulis kitab itu. Dengan serta-merta mereka mengadopsi seluruh doktrin dan mewujudkannya dalam kehidupan keseharian tanpa memahami latar belakang dan pemikiran filosofis ajaran itu. Malahan, muncul image di kalangan mereka bahwa pemahaman semacam itu terjadi sudah cukup menjadi tuntunan dan pedoman setelah Al-quran. Maka, tidak mengherankan kalau para santri pemula di kalangan pesantren mengaji kitab itu tanpa memahami alur pemikiran al-Ghazali yang menyeluruh dalam bidang fiqih, teologi, atau filsafat. Mereka tidak menyadari bahwa karya monumental al-Ghazali sebenarnya ditulis untuk kalanga1) tingkat khashsh, yakni mereka yang telah memiliki pengetahuan cukup mendalam dalam bidang fiqih, teologi, dan filsafat. Ketidakmampuan memahami hal itu hanya akan melahirkan pribadi-pribadi yang cenderung mengutamakan kehidupan ruhani atau spiritual ketimbang kehidupan rasional dalam mengejar ketertinggalan. Memang, seperti disinyalir Seyyed Hossein Nasr, senjata paling ampuh untuk mengatasi nestapa dunia modern adalah pendekatan ruhani.
Sisi lain yang menempatkan kaum santri di posisi bawah dalam pergaulan dan perubahan sosial adalah kesalahan pemahaman dalam menjabarkan ajaran-ajaran tasawuf semisal zuhd, qana’ah, wara’, syukr, ridha , dan tawbah. Kenyataan inilah yang menyebabkan anggapan sinis bahwa kaum santri terbelakang dan tertinggal. Sikap mempertahankan status quo yang semula dianggap baik tampaknya sekarang mendapat perhatian khusus dari “generasi baru” untuk dilakukan reformulasi pemahaman atas doktrin-doktrin sufistik. Reformulasi itu secara internal diharapkan dapat menghapus missinformation dan missunderstanding tentang perilaku sufistik kaum santri yang selama ini dikenal sebagai kelompok Sunni tradisional yang jumud dan mandeg.
Budaya Walisongo yang sampai sekarang masih melekat di kalangan santri adalah kepercayaan kepada orang-orang suci yang dikeramatkan dan dijadikan panutan sebagai wastlah atau tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan bagi segala kesulitan. Tokoh- tokoh tarekat dianggap sebagai sosok manusia kharismatik yang mengetahui alam gaib dan segala ihwal dunia suprarasional. Penghormatan kepada figur-figur tarekat melebihi penghormatan kepada ulama yang oleh Allah sendiri nyata-nyata dimuliakan karena keilmuan dan kepeduliannya pada kehidupan sosial masyarakatnya. Dimensi keilmuan dan kesalihan memang disepakati sebagai tolok ukur keulamaan seseorang. Akan tetapi, di kalangan santri, ada tolok ukur lain yang bisa meningkatkan martabat dan kedudukan seseorang melebihi ulama lain, yakni ma’rifah. Al-Ghazali menjadikan ma’rifah sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf. Penghayatan ma’rifah dan alam gaib yang disodorkan ajaran tasawuf dirasakan mampu memberikan penyaluran bagi kepuasan ruhani, terutama ketika Islam berada dalam masa kemunduran fisik, intelektual, dan politik. Dalam masa itu, barangkali kompensasi atas kebahagiaan dengan penghayatan yang serba mistik dan serba gaib mungkin wajar. Namun, dalam masa sekarang yang sudah cenderung materialistis ini, kepuasan ruhani yang bersifat individualistik sudah saatnya ditinggalkan, karena sejarah membuktikan bahwa organisasi tarekat sebagai lembaga dakwah memberikan pengajaran dan pendidikan yang bersifat individual semata.
Hal lain yang mesti memperoleh perhatian kaum santri adalah bahwa tradisi tarekat tidak pernah memikirkan siapa memerintah siapa dan siapa menguasai siapa. Bagi kalangan tarekat, yang terpenting adalah kegiatan-kegiatan ruhani yang tidak terusik godaan-godaan duniawi. Karenanya, mereka cenderung eskapistik, yakni tidak menginginkan dan bahkan menjauhi segala bentuk keduniaan karena dipandang sebagai godaan yang melemahkan keinginan untuk mengingat Allah (dzikr Allah ). Kaum sufi tidak menginginkan sukses struktural. Yang menjadi keinginan mereka adalah kebahagiaan dan ketenangan dalam penghayatan dan selalu mengingat Allah. Seperti dikemukakan di atas, sikap “permisif” dalam konteks tasawuf tidak mempedulikan kehidupan kenegaraan. Bagi mereka, selama dianggap tidak mengganggu dan tidak mengancam, negara cukup untuk diikuti. Manakala ada gejala-gejala kezaliman, mereka mengambil solusi be- rupa mengisolasi diri (‘uzlah) secara fisik ke pelosok-pelosok dusun.
Sikap diam dan defensif dalam menghadapi kebobrokan sosial yang masih menggejala di kalangan santriperlu diantisipasi dan ditindaklanjuti secara tepat. Dengan demikian, reformulasi dan rekonstruksi -melalui tahapan dekonstruksi -atas konsepsi dan doktrin- doktrin tasawuf bisa dilakukan kaum santri. Masa kemunduran fisik, intelektual, dan politik telah berakhir dan karenanya mesti diisi dengan keberanian intelektual dan sosial melalui keterlibatan langsung dalam menentukan arah dan kebijakan perubahan sosial.
Perhatian pada dunia metafisik boleh dipertahankan selama masih berada dalam jalur teoligis dan tidak mempedulikan elemen-elemen kecil yang bisa menyebabkan kemunduran umat. Mengasingkan diri dan menghindar dari perubahan dan modernisasi berarti tidak mau menyelesaikan masalah dan tidak menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Akibat yang muncul adalah tersisih dan tertinggal dari laju perkembangan masyarakat bangsa. Kaum santri sekarang, yang nota bene penganut tarekat, rasanya dapat mengaca pada teladan seorang guru tarekat di Jombang, K.H. Musta’in Romli, yang secure aktif memimpin pesantren dan juga mendirikan Universitas Darul Ulum. Tampaknya, beliau menyadari bahwa kaum tarekat juga berkepentingan dengan kemajuan agama. Suatu hari, beliau berkata, “Saya ingin menciptakan bibit unggul moral agama lewat Pondok dan Universitas Darul Ulum sampai ke otaknya di Universitas.” Jelas sekali bahwa beliau menghendaki adanya modernisasi pendidikan pesahtren. Hasilnya, sampai sekarang pesantren itu diakui sebagai salah satu pesantren yang melahirkan banyak tokoh bangsa di negeri ini.
Reformulasi ajaran-ajaran tasawuf seyogyanya dapat memotivasi kaum santri untuk optimis dalam bersikap agar tetap segar dan mengikuti zaman. Penelusuran aiaran tasawuf seyogyanya dimulai dari kalangan intern santri sebagai penganut dan pengamal. Usaha itu pada dasarnya diarahkan pada beberapa sasaran utama: pertama, praktek-praktek penyimpangan ajaran tasawuf oleh kelompok Muslim yang tidak memadai pengetahuannya dalam bidang itu; kedua, penelusuran pihak luar yang memiliki perhatian dalam mengamati praktek-praktek ajaran tasawuf kaum santri yang bercampur-aduk, jumud, dan tertinggal dalam kehidupan sosial dan ekonomi karena perilaku nrimo, merasa puas dan pasrah pada takdir, dan sebagainya. Namun, usaha pertama harus lebih mendapatkan prioritas karena hasilnya dengan sendirinya akan menghapus image negatif pihak luar dan masyarakat yang menghendaki keterlibatan aktif santri dalam pembangunan negeri ini.
Bagi dinamika pendidikan pondok pesantren, model sufistik juga berpengaruh besar dalam pembentukan pola pikir dan wawasan santri. Kita mulai dengan melihat beberapa jenis kitab klasik yang diajarkan di pesantren selama ini. Setidaknya, jenis-jenis kitab itu dapat disebutkan sebagai berikut: pertama, kitab-kitab fiqih sufistik seperti Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali, Sullam at-Tawfiq, dan lain-Iain; kedua, kitab-kitab yang secara kultural melegitimasi doktrin-doktrin Syi’ah dalam menokohkan figur-figur tertentu secara monarkhi-feodalistik, seperti kitab Ta’lim al-Muta ‘allim, Sullam al-Munajah, al-Barjanzi dan sebagainya; ketiga, kitab-kitab sejarah yang diajarkan di pesantren-pesantren yang sejak awal telah membentuk opini santri untuk menghakimi dan menyalahkan salah satu tokoh atau kelompok sahabat dan tabi’in tertentu; keempat, kitab-kitab teologi dari mazhab tertentu yang berakibat tidak terbukanya cakrawala berfikir santri dalam memahami persoalan. Jenis kitab-kitab itu juga hanya mengandung doktrin-doktrin tertentu yang kerap kali mengancam kebebasan berfikir atau keharusan berfikir dalam satu lingkaran mazhab atau ulama tertentu seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi.- Beberapa jenis kitab itu, mau tidak mau, tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu penyokong lahirnya para santri yang tidak radikal dalam berpikir, tidak kritis, tidak metodologis, dan tidak proporsional dalam melihat suatu kasus dan perubahan sosial. Dinamika keilmuan santri terbatasi oleh norma-norma dan ketabuan yang dikonstruksinya sendiri.
Keterlanjuran santri untuk mengikuti kehendak kurikulum sebuah pesantren sangat dipengaruhi oleh budaya monarkhi-feodalistis yang mengajarkan kemestian kepatuhan kepada apa-apa yang “disabdakan” dari atas. Ketidakmampuan santri mendobrak status quo sebagian besar bukan disebabkan oleh ketidakberdayaan intelektual, melainkan oleh ketidakberdayaan budaya yang lebih mendahulukan stabilitas dan keharmonisan. Di sinilah letak persoalan mengapa kaum santri tergolong “permisif” dan “penyabar.” Di sini pula letaknya penetrasi budaya Walisongo dengan berbagai simbolnya seperti seni perwayangan dan konsep nrimo dan manut sabda, pandhita.
Barangkali berawal dari kelompok~kelompok elit santrilah usaha mengubahstatus quo dengan prinsip dan strategi al-muMfazhah ‘ala al-qadzm ash-shalill wa al-akhdz bi al-jadzd al-ashlall, beberapa usaha dapat dilakukan dengan pendekatan yang cukup persuasif. Beberapa agenda yang dapat dikemukakan di sini berkaitan dengan penetrasi kurikulum pondok pesantren, pengadaan wacana keilmuan yang lebih variatif dan komprehensif, dan metodologi pengajaran yang lebih baik. Yang dimaksud dengan metodologi di sini adalah beberapa usaha dan pendekatan untuk pencerahan dan pengayaan wawasan santri tentang informasi ilmiah secara komprehensif. Dengan demikian, solusi yang dapat dikemukakan berkenaan dengan kurikulum, khususnya kajian kitab klasik di pesantren-pesantren, adalah agar membuka diri dalam memahami kebutuhan dan tuntutan santri sebagai generasi penerus yang akan terlibat langsung dalam kancah sosial masyarakat bangsanya. Bukankah tradisi para imam masa lampau adalah tradisi mencari ilmu dengan inisiatif memilih sendiri disiplin ilmu dan guru tertentu untuk dijadikan panutan? Kita bisa mencatat nama-nama Imam Bukhari yang hanya menekuni hadis dari berbagai tokoh mazhab dan aliran teologi, atau Imam al-Ghazali yang bermazhab Asy’ari dan Syafi’i berguru kepada a1-Juwayni yang dianggap menyimpang dari gurunya, al-Asy’ari dan al-Baqillani, dan sebagainya. ilustrasi itu kiranya dapat dijadikan motiyasi bagi santri untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dari.berbagai sumber yang berkompeten, baik melalui kitab karya tokoh tertentu ataupun langsung melalui penyusunnya.
Hal lain yang bagi penulis perlu diperhatikan adalah kelaziman kaum santri mendalami ilmu-ilmu kedigjayaan di saat tengah mempelajari ilmu-ilmu syariat. Tradisi yang dianggap oleh Martin van Bruinessen sebagai tujuan mempelajari thari’qah ini seyogyanya ditelusuri ulang bahwa kaum santri memiliki kedigjayaan yang dianggap sebagai ma ‘unah atau karamah. Kalau disikapi secara konsekuen dan konsisten, dalam istilah teknis tasawuf, berbagai kelebihan itu sebenarnya sudah memasuki kawasan dunia tarekat. Kelebihan-kelebihan itu diperoleh oleh seorang murid atau penganut tarekat yang telah berada pada tataran atau maqam tertentu disebabkan kepatuhan dan kesetiaan menjalankan wiridan-wiridan yang telah ditentukan sang guru (mursyid). Jadi, alangkah tidak tepatnya manakala seorang santri yang belum mendalami dan memahami permasalahan syariat tiba-tiba diajari atau beralih ke masalah itu. Perhatian penulis dalam mengangkat masalah itu disebabkan oleh tuntutan dan kebutuhan sosial masyarakat bangsa saat ini menghajatkan keahlian dan kemampuan santri dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat secara umum berkenaan dengan problema ekonomi, kesejahteraan sosial, nasib kaum bawah, dan sebagainya yang bersumber dari pemenuhan kebutuhan yang rujukannya kitab-kitab syariat, dan bukan kedigjayaan. Setidaknya, seperti diperintahkan Alquran, hanya sebagian kecil sajalah dari kaum santri yang mempersenjatai diri dengan ilmu-ilmu perang (kedigjayaan), sementara sebagian besar lainnya semestinya menuntut dan memperdalam ilmu yang berkaitan dengan masalah agama agar mereka dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan demikian, beberapa tradisi Walisongo untuk masa dan zaman semodern ini tidak seluruhnya ditelan mentah-mentah, dibuang jauh-jauh, dan tidak perlu disikapi secara a priori sebelum mengenali secara benar dan baik. Sikap a priori terhadap tradisi dan budaya Walisongo hanya akan melahirkan kebutaan yang berkepanjangan. Sebaliknya, sikap arif dan bijaksana untuk mempertahankan nilai baik dan menerima nilai baru yang lebih bermanfaat setidaknya me rupakan sikap yang tidak frontal dan tak defensif dalam menghadapi ketimpangan dan kebobrokan sosial yang ada selama ini. Bukankah budaya Walisongo yang dianut kaum santri selama ini adalah sikap kompromis dan “permisif “ atas tradisi lokal Semuanya bergantung pada improvisasi kita dalam memodifikasi kekayaan warisan budaya itu agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.